LUNA dan “PELACUR”

“Infotemnt derajatnya lebh HINA dr pd PELACUR, PEMBUNUH!!!! may ur soul burn in hell!!…”

“Maaf yaa semua untuk twit yg gak penting itu,tp untuk yg mengerti makasih bgt,tp untuk yg gak ngerti jg maaf…”

Luar biasa artis kita, merasa tinggi derajat dan martabatnya sehingga boleh semena-mena melontarkan makian dan umpatan. “MAKIAN dan UMPATAN” bukan mengeluarkan isi hati, karena hati itu lembut, damai dan syahdu. Dan seyakin-yakinnya itu bukanlah keluar dari mulut, karena mulut akan mengeluarkan kata-kata manis, sopan dan penuh tatakrama tak peduli bagaimana situasi dan kondisi yang terjadi…Mungkin itu keluar dari pantat Luna, karena pantat adalah tempat keluarnya kotoran-kotoran yang seharusnya dikeluarkan. Demikian kata temanku berujar, dipojok saung tempat kita meronda.

Ah, jangan begitulah bro….toh Luna kan manusia, yang butuh pelampiasan atas apa yang terjadi, syahdan katanya, rekan-rekan wartawan yang keterlaluan…..

Halahhh….itu mah bisa-bisanya si Luna….Lha kata temanku yang ada ditempat kejadian, si Luna itu awalnya ndak ngendong anaknya Ariel, eh tau-tau koq ngangkat dan ngendong anaknya Ariel??? Padahal kondisinya pada saat itu, anak Ariel akan baik-baik saja digendong oleh ibunya Ariel, harusnya biarkan saja anaknya Ariel digendong sama neneknya….lha wong anaknya tertidur….Seperti disengaja dan cari masalah memang si Luna itu….

Woiii…..jangan berlebihan dong….yang berimbang….

Mas, ini saya mau mengungkapkan logika kejadian aja koq. Luna tau dia bakal disorot kamera, bakal dikerubuti wartawan, bakal ditanya-tanya…Kenapa pula tiba-tiba ngambil anak yang sedang tidur digendongan neneknya??? Klo Luna punya hati, ya biarkan saja anak itu tertidur, ndak usah diganggu-ganggu dan dilibatkan dalam kesulitan atau keribetan malam itu…..

Oooo….gitu ya….Tapi kan ngak ada asap kalo ngak ada api bro…..

Ah….asap, api, semuanya ya si Luna sendiri penyebabnya….Menurut gw, ngapain sih kita bela-bela dia, ndak ada untungnya juga. Saudara bukan, adik bukan, pacar bukan, muslimah yang baik juga bukan….Dia merasa besar dan benar, merasa diri paling penting, merasa dirinya harus diperhatikan dan dipedulikan. Pokoknya gw bisa melakukan apapun dan orang harus memakluminya, gitu mungkin yang ada di otaknya Luna Maya…..

Lalu infotainment apa ndak ada salah-salahnya????

Ah…jangan bawa kesana pembicaraan ini. Ini menyangkut adab kita bermuamallah, adab kita bersosialisasi, adab kita mengeluarkan pendapat dan berbeda pendapat serta pandangan. Satu-satu dulu kita bahas mas… Nah kalo makian dan umpatan seperti ini kita maklumi dan kita amini, sebagai bentuk maklum kita dengan kata manusiawi. Maka kita akan menjadi manusia bar-bar yang hanya mementingkan diri dan ego pribadi tanpa memperdulikan perasaan orang lain…..Dan jika kita mau berkaca dan membayangkan, kalo setiap ungkapan kekesalan adalah umpatan dan makian, apa jadinya suasana komunikasi yang terjadi dalam kehidupan ini.

Ah…..elu terlalu berat sebelah bro….

Ndak berat sebelah, betapapun kita disakiti dan didzalimi, maka kita tidak boleh menisbikan orang yang melakukan hal tersebut kepada kita. Kita harus tetap santun, bahkan kalo bisa kita doakan orang tersebut agar mendapatkan hidayah dan dapat berubah menjadi orang yang lebih baik….Bukankah demikian mas yang dikatakan guru-guru kita….Dan kalo kita dilanda amarah yang sangat, kita dianjurkan untuk ambil air, apabila masih marah, kita dianjurkan untuk duduk….yang terakhir, kalo dudukpun masih marah, kita dianjurkan untuk tidur. Dan kalo mau pake jalur hukum, ya adukan aja keluhan tersebut kelembaga yang terkait. Ndak usah, maki-maki orang seperti dirinya lah yang paling mulia. Padahal dia kan…….

Hei, hei, (harus kustop omongannya temanku ini, klo tidak mau dilaporkan ke Polisi dan dijerat UUITE 🙂  )…

”Sana ambil air wudlu…biar amarahmu reda……”

[Antara] Luna Maya, Infotainment dan Kita

Sosial Media menjadi tempat kita bermain, bercanda, berbisnis, bersilaturahmi dan bermuamalah. Suatu dunia yang sangat terbuka, sangat terbuka, bahkan kalo boleh dikatakan sangat-sangat telanjang.

Suatu opini atau tulisan, akan menjadikan suatu berita besar dan akan bergulir kemana-mana tanpa dapat dihentikan, hal ini terjadi bila yang ber-opini atau sang pembuat tulisan tersebut memiliki “nilai” atau mungkin opini atau tulisannya tak ber-”nilai” tetapi karena yang membuatnya adalah seorang yang ber-“nilai”, maka kemungkinan viral dari opini atau tulisan tadi bisa menjadi suatu berita yang ber-“nilai”.

Mengenai masalah nilai menilai, maka adakalanya nilainya hitam dan kadang kala penilain tersebut menghasilkan nilai merah. Adakala mendapatkan kredit positif dan seringpula mendatangkan kredit nilai negatif. Seringkali kita menganggap bahwa opini atau tulisan kita adalah suatu karya yang patut mendapat nilai positif tetapi kadangkala sang penilai memberikan hal sebaliknya. Apalagi dalam dunia sosial media ini sang penilai belum tentu layak menilai, karena hanya ada satu syarat dalam dunia ini, yaitu terkoneksi. Bukan seperti guru yang memberi penilaian, dimana dalam dunia pendidikan maka sang penilai sudah harus memenuhi berbagai syarat-syarat yang dipersyaratkan sehingga nantinya dalam memberikan penilaian dapat memberikan suatu penilaian yang objektif, adil dan berdasar.

Dunia sosial media, atau dunia 2.0 adalah dunia kolaborasi untuk menentukan mana yang penting, mana yang positif, mana yang negatif, mana yang ……. sehingga tidak ada suatu lembaga atau suatu individu-pun yang dapat berlagak paling tahu, paling benar, paling suci. Publik yang akan menilai, yang akan menjustifikasi dan mengklarifikasi atas segala opini dan tulisan yang kita publish kepada publik.

Kaitannya dengan ”Public Figure” adalah, bahwa mereka sering kali ”mohon koreksi jika saya salah” lupa bahwa mereka adalah sosok yang banyak ditiru oleh publik, baik prilaku, perbuatan, gaya bicara, gaya berbusana dan bahkan pemikiran-pemikirannya. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa mereka adalah ”Rain Maker”, mereka dicinta, disayang, dinanti, dihujat, dicaci dan dirating oleh publik, kita. Hal ini dapat kita lihat bersama, bagaimana banyaknya follower saudara kita yang dinamakan ”Public Figure” tersebut.

Infotainment sebagai sebuah industri yang dekat dengan ”Public Figure”, mewartakan setiap gerak langkah yang dilakukan oleh ”teman dekat” mereka itu. Kala belum terlalu tenar, ”teman dekat” sangat dekat dan mencoba dekat-dekat dengan infotainment, karena reach pewartaan dari Infotainment sangatlah bermakna bagi pencitraan dan karir mereka (mungkin – karena gw bukan public figure…hehehe). Ketika karir telah menanjak, tuntutan PR (public relationship) menjadi kebutuhan yang menjadi-jadi, press dimana-mana, didepan rumah, di lokasi syuting dan dimanapun sang ”Public Figure” berada. Berat, terasa berat, dan menjengkelkan memang, tetapi itu adalah resiko dari pekerjaan atau pilihan karir yang dipilih.

Alasan-alasan, bahwa press telah melampaui batas dan melanggar privacy adalah sebuah pembelaan yang menjadi hak sang ”Public Figure”, boleh, dan memang diperbolehkan mereka untuk tetap diam tanpa makna. Seperti halnya ketika kita mendapat telfon dari telemarketing atau penawaran-penawaran produk dari sales people, sebagai masyarakat yang ber-muamallah dan mengerti tenggang rasa, dan mengerti arti kehidupan dan hidup, selayaknya kita menanggapi hal-hal itu dengan senyum dan tutur kata yang manis. Atau berikan gurauan-gurauan yang tidak menyinggung perasaan, karena mereka sangat-sangat butuh call, interaksi, prospecting dan closing. Karena nasib anak istri mereka sangat tergantung dari hasil pencapaian target mereka….Usaha mencari rejekipun harus memandang etika dan aturan, sehingga pencapaiannya menjadi berkah dan menyejukkan semua pihak.

Gw jadi teringgat 3 kata ajaib, yang sering kita lupa ucapkan dan tuliskan yaitu: ”Maaf”, ”Tolong” dan ”Terima Kasih”. Kata tersebut tidak merendahkan kita dan tidak mengandung arti kalah atau apapun tetapi lebih kepada suatu perkataan yang bisa diusahakan dan digunakan untuk menyelesaikan masalah dan memperpanjang tali asih. Sehingga tidak menjadi polemik, dukung mendukung dan aksi-aksi yang tidak perlu. Ayo….Berjabat tangan….rendahkan kejumawaan diri dan organisasi, kita saling membutuhkan….

“kita hanya tanah-tanah yang berujud dan dihidupkan oleh-Nya”